Juara II Lomba Sayembara Cerpen Badan Bahasa Provinsi Gorontalo
Cerpen Manusia Laut kalau ditakar dari segi kualitas naskah memang banyak lubang yang harus ditampal. Baik itu dari segi teknik menulis, tata bahasa, hingga soal typo yang terjadi di beberapa kata.
Tapi soal itu mungkin juri lebih berhak membedah. Saya hanya ingin membuka sedikit catatan bagaimana saya menulis cerpen ini dan apa yang ingin saya sampaikan, lalu soal dari mana inspirasi menulisnya?
**
Di tahun 2016, saya menemukan banyak polemik yang terjadi di daerah saya. Terutama soal kartu Jaminan kesehatan dari pemerintah. Saya paling getol soal pelayanan yang satu ini. Persoalannya, banyak orang miskin yang terlilit hutang di rumah sakit hanya karena iuran kesehatannya tertunda.
Lalu, saya merenung. Lewat apa saya bisa menyebarkan bau "busuk" pemerintah ini ke publik. Paling tidak semua orang tahu, bahwa ada kezaliman yang terstruktur di sini.
Akhirnya saya memutuskan untuk mengangkat isu sosial yang bertalian dengan kesehatan. Setelah isu itu ditetapkan, saya melihat ada sayembara menulis cerpen. Dan itu, dalam dugaan saya, adalah cara terbaik menyebarkan kritik.
Setelah membaca aturan main sayembara itu, saya hilang ide dalam mengarap cerpen. Karena syarat utama cerpen harus bertemakan kearifan lokal. Sisi hidup yang beraroma lokalitas penuh hikmah kehidupan. Sementara saya mengarahkan peluru (ide) saya pada kritik sosial.
Maka, demi menyambung menang merah antara kritik sosial dan kearifan lokal, saya mencoba mengawinkan cerita ini pada kehidupan Manusia Laut ( Bajo) yang terlupakan oleh pemerintah.
Saya mencoba mengurai pesan tentang kondisi hidup Manusia Laut. Dimulai dari sisi hidupnya berupa status sosialnya, yang kadang KTP saya sudah dibuat.
Kemudian agama mereka yang saya kuatkan dengan adegan salat, yang disisipi sebuah filosofi sarung di mata orang Bajo Muslim.
Selanjutnya, saya menarasikan keyakinan orang Bajo, termasuk sebagian orang Gorontalo yang sangat menakuti suasana senja menjingga. Seolah suasana itu adalah hal mengerikan.
Padahal, alasan mengapa orangtua melarang di luar jam segitu hanya karena pengen anak-anaknya salat magrib, tak berkeliaran di waktu magrib.
Untuk bagian ini tidak sempurna saya uraikan. Karena halaman cerpen sudah lebih dari 8 halaman. Itu bahaya, pasti cerpen saya akan diparkir alias tidak dibaca, begitu kata pak Sultan.
Kembali lagi soal kritik sosial. Meski targetnya adalah misi kearifan lokal, saya sisipi di sana cita-cita untuk, "mencaci" oknum penguasa yang apatis.
Setelah saya kirim, saya memang tak terlalu berharap juara. Karena saya tahu, lawan saya datang dari sastrawan besar di Gorontalo. Bahkan guru menulis saya di FLP juga ikutan, yang kemudian dinobatkan juara pertama.
Namun, ini bukan soal juara. Ketika menulis saya hanya berpinsip bahwa tulisan yang saya kirim itu seolah anak. Saya bekali dia dengan peluru seadanya, dan bertualang semampunya.
Sehingga pengembaraan tulisan itu pun sampai di meja juri, dan dibedah sebagaimana aturan sebuah lomba.
Hasilnya, cerpen Manusia Laut, itu juara kedua. Padahal, tak juara pun itu hal biasa bagi saya. Yang terpenting tulisan saya bisa menyusup ke pikiran orang banyak, itu sudah sangat membuat saya senang.
Lalu, lebih senang yang mana, hadiah juara atau pikirannya menyebar?
Semua orang tentu senang dengan hadiah juara. Tapi rasa senang ini jauh lebih besar karena tulisan saya bisa bertahan hidup di tengah pikiran pembacanya.
Saya tahu, tulisan itu tak lantas mati begitu saja, lalu terlupakan. Sebab, setahu saya, tulisan itu akan bersekutu dengan tulisan-tulisan lain dalam satu buku yang akan diterbitkan oleh kantor bahsa Gorontalo.
Jadi, intinya saya menulis ini memang hanya ingin menumpahkan kegelisahan selama ini. Paling tidak, masalah yang bertikai di kepala ini sudah saya keluarkan dalam tulisan.
Kesimpulannya, dalam seyembara menulis cerpen Kantor Bahasa Gorontalo 2016 ini saya mendapatkan dua hal. Pertama, kepuasan batin karena narasi kritik saya sudah menyebar. Kedua, saya diberi hadiah dari kritik yang saya buat. Bukankah itu hal menyenangkan?
* Penulis adalah guru di Madrasah Aliyah Negeri Tilamuta, bergiat di Forum Lingkar Pena Gorontalo sejak 2012.
Selamat. Jadi penasaran mau baca cerpennya. Tidak bisa di publish di blog ya? :D
BalasHapusBagi-bagi tips nulis dong. Soalnya kayaknya susah nulis cerpen, bagaimana membangun ide cerita dan dikembangkan jadi cerita utuh yang saya rasa sulit. :)
Salam kenal juga, saya juga dari Gorontalo.
Intinya, kalau ingin menulis, harus punya misi. Apa yang ingin disampaikan lewat cerita itu. Kalau sudah ada misi, barulah menyusun adegan-adegan. Cerpen harus mengerucut, tokohnya sedikit, biar pesan yang ingin disampikan bisa fokus dan terwakili.
BalasHapusUntuk cerpen ngak bisa diterbitkan di blog. Soalnya cerpen itu akan dibukukan oleh kantor bahasa. Nanti setelah jadi buku, Insyaa Allah bisa.