Perpisahan dan Perjalanan Mencari Esensi Hidup -->

Perpisahan dan Perjalanan Mencari Esensi Hidup

Tips Sukses Merantau
Merantaulah..
Orang berilmu dan beradab, tidak diam beristirahat di kampung halaman..
Tinggalkan negerimu dan hiduplah di negeri orang..
Merantaulah..
Kau kan dapati pengganti dari orang-orang yang kau tinggalkan..
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup kan terasa setelah lelah berjuang. -- Imam Syafi'i
***

Jalanan sore itu semakin ramai. Seorang wanita berwajah keriput, dengan jilbab yang kurang rapi tak sanggup melihat anak lelakinya akan pergi lagi. Padahal, 10 tahun sudah mereka terpisahkan. Sang anak memilih berpisah karena mengejar cita-citanya. 

Tapi, sore itu kembali hati mereka bersedih-sedih. Mereka akan terpisah lagi karena alasan yang sama. Sang anak mengejar cita-citanya lagi ke pulau Jawa.

Mungkin karena wanita itulah yang merasa lebih berhak menangis. Sebab, dialah yang melahirkan sang anak. Semua orang juga tahu, dari rahim kecilnya, pelukannya yang hangat di malam hari, air susunya yang segar, anak itu tumbuh hingga kini menjadi dewasa. Mungkin itu alasannya. Karena dia ibunya. Benar!

Sejak kecil anak itu tak pernah memimpikan jejak kakinya akan berada di tanah jawa. Tanah yang katanya tersimpan sejuta manusia dalam potongan pulau kecil. Tanah yang katanya menyimpan sejuta adat dan budaya. 

Tanah yang katanya menjanjikan sebuah kenangan yang jauh lebih romantis di banding tanah lain di negeri ini. Sebab keindahan itulah langkah kaki sang anak semakin kokoh, pijakannya semakin tegar menghadapi segala resiko hidup ke depan.

Sebelum berangkat, sang ibu pernah bertanya pada anaknya. Sekadar memastikan sang anak telah yakin betul akan pilihan hidupnya.

"Nak, nanti kamu tinggal di mana?
Makan di mana?
Siapa yang akan kau datangi?
Trus, nanti kau sakit siapa yang rawat?
Nanti kalau kau dibunuh bagaimana?" tanya ibu dengan gaya bahasa daerahnya.

Tersenyum hati ini mendengar pertanyaan itu. Karena tak lain, anak yang ditanyai itu adalah saya sendiri. Pelan dan penuh kerendahan hati saya mulai berbicara.

"Ibu, masjid adalah tempat tinggal yang paling nyaman. Di sana adalah tempat berkumpulnya orang-orang saleh. Di sana banyak yang akan menolong jika saya susah. 

Kalau pun nyawa dijemput di tanah jawa, biarlah itu jadi takdir. Tak usah menangisi hal itu. Nyawa ini milik Allah. Dijemput kapan saja itu terserah Dia. 

Yang saya butuhkan hanya doa. Itu jauh lebih menguatkan dibanding tangisan. Pastinya, saya akan kembali." Terang saya dengan bahasa Gorontalo.

Biar bagaimana pun, hatinya tetap saja bersedih. Saat mau berpamitan, ibu sudah mengurung diri di kamar. Sepertinya tak bisa melepas kepergian saya. 

Kata ayah, "berangkatlah. Carilah pengalaman sebelum kau menikah. Jaga perilaku di kampung orang. Dan ingat, hujan batu di kampung sendiri masih jauh lebih baik dari pada hujan emas di kampung orang." katanya.

Demi menghibur hatinya, saya urungkan niat berangkat sore itu. Nanti keberangkatan dijadwalkan pagi. Malam itu saya habiskan waktu berkasih-kasih dengan ibu. Terlalu berat rupanya sosok wanita ini merelakan kepergian saya. 

Bukan hanya sekarang, sejak dulu waktu sekolah di Madrasah Aliyah, ibu seringkali menasehati saya lewat surat-suratnya dari kampung. Apalagi kalau kiriman beras bulanan tak akan ada. Sungguh wanita ini begitu penyanyang.

Paginya saya meminta restu. Ayah dan ibu berdiri di pinggir jalan. Saya salami keduanya dengan hati yang sudah bulat. Saat itu saya tak sanggup menatap wajah ibu. 

Saya pun berangkat.
Jalanan pagi itu masih terlalu sepi. Cahaya matahari juga belum terlalu terang. Udaranya masih segar dan membungkus kulit. Darah sedikit membeku, bulu roma sedikit mengang dan nafas masih menyisahkan uap dingin. Sepanjang perjalanan saya melafaskan doa. Semoga ini bukan perpisahan terakhir.

Saya mengintip dari kaca jendela mobil. 
Sendu terasa melirik kedua sosok yang telah membesarkan saya itu. Ternyata begini rupanya perpisahan.

Dalam hidup memang perpisahan tidak pernah menjanjikan bahagia. Dia selalu menyelipkan tangis, menyisahkan perasaan haru, hingga membuat hati selalu lembab. Perpisahan sudah seperti itu. 

Maka saya hanya perlu menjadi menjadi sosok yang terlihat kuat agar yang ditinggalkan tidak begitu takut kehilangan. Berpura-pura tegar agar tidak meninggalkan ketakutan yang hebat bagi mereka yang ditinggalkan.

Merantau memang pilihan yang sulit bagi kebanyakan orang. Sebab, banyak hal yang harus dipikirkan. Mulai dari biaya perjalanan, tujuan kemana, apa yang hendak dicari dan apa yang akan diperbuat di sana. Semua itu harus dipikirkan matang-matang.

Saya sendiri tak pernah merangkai rute perjalanan terlalu rinci. Saya hanya berjalan, berjalan dan terus berjalan. Seperti arah angin. Kemana hati hendak berkiblat ke sanalah kaki akan melangkah. 

Lah kok ngak punya tujuan hidup? ngak juga sih. Tujuan saya bukanlah sebuah tempat, dia bukan sebuah wisata, dia bukan pula sebuah wahana bereuforia. 

Tujuan saya adalah mencari ketenangan batin. Memungut setiap keping makna hidup di jalanan. Merasakan bagaimana hidup mandiri, hidup tanpa perlu dihantui rasa takut. Atau singkatnya saya bisa menyimpulkan bahwa saya memiliki tujuan yakni "berdiri di kaki sendiri".

Sebelum berpisah, saya sudah menanam janji bahwa petualangan ini hanya setahun atau paling telat dua tahun. Setelah itu saya akan kembali ke kampung. Memutuskan untuk menikah secepatnya. 

Mengingat kedua orang tua sudah mulai sakit-sakitan. Dan mungkin pernikahan nanti adalah hal terakhir mereka tunggu dari saya.

Bagi saya merantau kali ini adalah sebuah perjalanan suci. Karena setiap langkah akan memberi arti bahwa saya ingin hidup, berjalan dan mengalir seperti air. Saya tidak ingin menjadi manusia yang duduk diam dan membusuk seperti yang diingatkan oleh Imam Syafi;i

"Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan."

Maka, kalau terlalu lama bertahan atau berdiam diri dalam satu tempat, saya yakin betul kreatifitas akan mati, terkubur dan membusuk di kepala.

Seyogyanya saya harus bergerak demi menghidupkan kreatifitas itu. Setelahnya baru menikmati buah dari perantauan jika ilmu sudah mumpuni hidup di kampung halaman.

Selain petuah inspiratif, saya juga terinspirasi dari membaca kisah hidup para pengelana. Seperti Gol A Gong, dalam bukunya, " Menggengam Dunia" yang kesemuanya bercerita tentang keberaniannya merangkul tas, meletakannya di punggung dan melayangkan kaki sejauh mungkin. 

Sosok Agustinus Wibowo juga salah satu tokoh yang saya kagumi dalam berkelana. Tulisannya lewat blog menjadikan saya sedikit lebih berani merantau. Merasakan bagaimana pengalaman bau asab jalanan, sejuknya air di perkampungan yang di lewati dan menuliskan catatan perjalanan dalam sebuah buku. 

Saya ingin seperti itu, menjadi pengelana dan penulis. Dalam kamus istilah Mas Gol A Gong disebut "I am travel-writer". 

Sore sedikit lagi meredup saat saya menyelesaikan catatan ini. Sepertinya kepala baru saja lepas dari serangan pening. Ah, romantis kalau saja menulis seperti ini ditemani secangkir kopi, dan duduk di teras rumah sambil menikmati cahaya sore saat matahari mulai berpamitan. 

Saat itu saya harus berkata, " Matahari saja merantau, melintasi seisi dunia dalam sehari. Mengapa aku tak bisa seperti matahari? Pasti bisa!" debatku dalam hati.
*** 

Twitter : @Idbismillah
Sumber Foto : Idrus Dama | Dokumen Pribadi