Bahaya! Kartu Sehat ternyata Memiskinkan Rakyat Gorontalo

Masih ingat dengan tag line, “Gratis dari lahir sampai Mati” ?
Sewaktu kampanye, seringkali terlalu berlebihan dalam memberi harapan kepada masyarakat. Salah satunya janji layanan kesehatan gratis sejak lahir sampai mati. Namun, ternyata setelah ditelusuri, fakta di lapangan tidaklah demikian.
Dalam tulisan saya ini akan mencakup bagaimana permasalan pengusulan penerima, kontoversi iuran kesehatan kepada rakyat, dan kelas sosial yang terbentuk karena kartu sehat. Hal ini cukup penting kiranya diketahui oleh kita semua, sehingga teranglah sudah apa yang menjadi pertanyaan kita selama ini.
Dana Kartu Sehat yang "Terkubur"
Ketika adik saya jatuh sakit, saya tidak memegang kartu jaminan kesehatan. Ya meski sudah didaftarkan sejak berbulan-bulan yang lalu, tapi kabar kejelasan nasib kartu itu entah kemana. Penundaan ini kemudian berimbas kepada nasib malang, dimana rakat harus bayar secara mandiri ke rumah sakit. Termasuk adik saya yang sudah sakit tanpa kartu sehat.
Hal ini membuat saya bertanya-tanya, mengapa data usulan jaminan kesehatan tertunda berbulan-bulan? bukankah anggaran untuk jaminan kesehatan ini sudah dialokasikan?
Demi mendapatkan kejelasan itu, besoknya saya berangkat ke kantor desa untuk melakukan verifikikasi. Saya menemui salah satu pegawai kantor desa. Berdiskusi perihal data usulan adik saya.
“So ta daftar, tapi kartunya sampe sekarang jaga tunggu belum ada. Ada seribuan yang didaftarkan, baru 50-an yang so ada.” Begitulah jawaban yang saya dapatkan.
Hal ini malah membuat saya jadi penasaran. Kok bisa tertunda, sementara yang lainnya sudah bisa menikmati layanan kesehatan.
“Coba check di dinas sosial. Tanya di sana!” kata wanita yang saya temui ini.
Tak mau buang-buang waktu, saya segera datangi kantor sosial. Sialnya, kantor ini selalu pindah-pindah. Jadi saya kesulitan menemukan kantornya. Saya harus bolak balik cari kantornya. Setelah dicari-cari kurang lebih dua jam, saya mendapat info bahwa kantor sosial sudah bertempat di Sanggar Remaja dulu.
Tiba di kantor sosial ini saya langsung masuk dan menemui ibu penanggungjawab data usulan penerima kartu sehat. Alhamdulillah ibu itu cukup baik dan mau mendengarkan keluhan saya.
“Data adik bapak ada, ini sudah terdata. Nanti saya buat surat rekomndasi dari sini, trus datang saja ke BPJS. Kartu akan dicetak di sana”
Sambil menunggu surat, saya sedikit melirik kondisi ruangan kantor ini. Kasihan, sempit dan sumpek. Kantornya sangat kecil dan penuh dengan meja-meja berjejer saling sambung. Bahkan, printer untuk mencetak surat pun bermasalah. Wajar kalau saya harus menunggu berjam-jam lamanya hanya untuk mendapatkan selembar surat rekomendasi.
Saya jadi mikir, kok daerahku miskin sekali ya. Printer saja harus pinjam meminjam satu sama lain. Apa daerahku tidak mampu membeli Printer? Bagaimana dengan hal lainnya yang jauh lebih besar. Ah peduli amat, saya sejenak lupakan kasus itu. Yang terpenting saat ini, saya harus mendapatkan surat dan kartu sehat.
Sekitar 2 jam saya duduk menunggu surat. Listrik di kantor ini mendadak mati dan ganset tidak ada. Terpaksa, petugas kantor harus bawa printer ke sebuah rumah makan hanya untuk numpang colokan listrik. Kebetulan di warung makan punya aliran listrik.

Setelah mendapatkan surat rekomendasi, saya langsung menuju BPJS . Di depan pintu saya disambut sebuah spanduk dan stand banner. Di sana saya temukan sebuah himbauan, “Daftarkan keluarga anda sebelum sakit” dan di bawahnya tertulis bahwa proses penerbitan kartu akan memakan waktu tujuh hari.
“Aduh! Adik saya sudah sakit, Apa harus menunggu 7 hari?”
Saya masuk dengan perasaan menggerutu. Saya mendapati seorang ibu sedang mengurus kartu jaminan kesehatan yang sama. Ibu itu mendaftarkan semua keluarganya sehingga 6 kartu sehat itu berjejer di atas meja. Hanya saja, ada sebuah kertas yang meminta ibu mentransfer uang sebesar Rp.25.500 /lembar. Artinya ada Rp.153.000 yang harus ibu bayarkan per bulan.
“Jadi ibu harus bayar uang sejumlah ini ke bank. Terserah mau ke BRI, BNI atau Mandiri” lelaki petugas BPJS itu menjelaskan. Saya jadi mikir, kok jaminan kesehatan sekarang bayar iuran lagi?
Setelah ibu itu pamit pulang, saya pun mengajukan berkas yang dibawa.
“Baik pak, karena bapak dapat rekomendasi dari dinas sosial, maka kartu sudah bisa dicetak hari ini. Dan karena pemerintah belum bayarkan jaminan kesehatan adik bapak, jadi harus bayar iuran kesehatan ini.” Kata lelaki itu sambil menunjuk angka Rp.25.500
“Kok bayar ya pak?” saya protes
Iya, ini untuk menjaga kartu bapak atif terus dan bisa digunakan jika sakit nanti. Kalau sudah begini apa bedanya dengan asuransi kesehatan yang dijalankan oleh usaha non pemerintah. Karena itu, saya putuskan hanya mendaftarkan adik saya saja. Keluarga saya tak ada yang terdaftar. Katanya masih tahap usulan dan belum ada verifikasi dari pemerintah kapan bisa aktif kartu sehatnya.
Ternyata, ada persoalan dalam penundaan data penerima kartu sehat. Pemerintah belum bayarkan iuran itu sehingga kartu jaminan kesehatannya belum keluar. Kalau sudah dibayarkan, otomatis kartu akan segera terdistribusi.
Sekarang saya mendapatkan jawaban mengapa dari 1000-an usulan dari desa hanya 50-an yang sudah punya kartu. Ternyata kendala pemerintah adalah soal anggaran. Saya tidak tahu persis, uang itu sudah ada atau sengaja ditunda untuk diendapkan dalam account bank tertentu. Sehingga bisa berbunga dan diambil keuntungannya.
Kita berpikir positif saja, semoga dana kesehatan daerah ini bisa segera keluar. Karena semakin lama tertunda, semakin rakyat terlunta-lunta. Yang miskin harus bayar biaya rumah sakit berjuta-juta hanya karena anggaran kesehetan di daerah tidak jelas entah dimana dan dikemanakan.
Iuran Kartu Layanan Kesehatan
Soal iuran kesehatan pun sudah menuai kotroversi. Setiap warga yang mau mendapatkan jaminan sosial, harus membayar iuran kepada pihak BPJS. Bila warga ingin dirawat di kelas I ketika sakit, maka wajib mengangsur Rp 59.500 per kepala per bulan. Berikutnya, untuk layanan kelas II, iuran Rp 42.500 per bulan, dan kelas III Rp 25.500 per bulan.
Pembayaran iuran BPJS dilakukan paling lambat tanggal 10 setiap bulan, dan apabila ada keterlambatan dikenakan denda administratif sebesar 2 persen dari total iuran yang tertunggak paling banyak untuk waktu 3 bulan.
Yang perlu dikritisi adalah bagaimana dengan nasib abang bentor Gorontalo dimana penghasilannya hanya sekitar 60 ribu perhari dan wajibkan bayar angsuran kesehatan. Kalau 60 ribu dikurangi 25 ribu setoran bentor, 15 ribu beli beras dan 15 ribu beli ikan. Maka dalam sehari seorang abang bentor hanya punya saldo tabungan perhari 5 ribu. Jika dikali dengan 30 hari, maka hasil tabungannya hanya bisa mencapai 150 ribu.
Bagaimana nasibnya kalau uang itu harus dipotong untuk bayar listrik per bulan, harus bayar air, dan harus dibebani lagi dengan angsuran kesehatan 25 ribu? Bagaimana jika anaknya berjumah 4 orang. Maka ini akan sangat memberatkan. Itu artinya pemerintah tidak serius memberi layanan kesehatan. Karena masih harus memungut iuran kesehatan. Lalu mana janji gratis dari lahir sampai mati? Omong kosong!
Diskriminasi Sosial
Hal berikutnya yang perlu disadari bahwa ternyata ada bentuk diskriminasi terhadap layanan kesehatan. Kita bisa melihat adanya kelas sosial ini dari nominal rupiah yang dibebankan. Warga kelas III hanya akan mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai kelasnya. Tentu yang tergolong kelas I akan mendapatkan full Service, hanya karena iurannya Rp.59.000/bulan.
Padahal, dalam layanan kesehatan, tidak boleh ada perbedaan. Semua harus mendapatkan pengobatan dan pelayanan setara. Apakah masyarakat miskin tidak berhak mendapatkan layanan kesehatan prima hanya karena mereka tak berduit? Ini sungguh kejam.
Jadi perlu adanya tinjaun kembali tentang iuran yang menyengsarakan ini. Memang nominalnya kecil, tapi kalau jumlah anggota keluarga banyak, maka ini akan membebani lagi. Berikutnya soal kelas sosial yang terbentuk. Kiranya bisa dihapuskan. Layanan kesehatan harus setara dan tidak membedakan pangkat dan jabatan.
Di sebuah rumah sakit, saya malah menemukan kondisi masyarakat miskin yang ditempatkan di ruangan yang tidak representatif. Bahkan untuk buang hajat saja sangat sulit. Air tidak ada. Hal ini perlu diperhatikan oleh pemangku kebijakan.
Sekadar himbauan kepada pemerintah, tolong tepati janji. Jangan hanya mengumbar harapan terlalu besar kepada rakat miskin lalu melupakannya ketika sudah berkuasa. Perlu adanya keseriusan mengurus hajat hidup orang banyak ini.
Tips Memotong Jalur Administrasi
Dalam mengurus kartu Jaminan Kesehatan Nasional ( JKN) biasanya satu minggu baru aktif. Karena harus menyelesaikan adminsitrasi dan membayar sejumlah uang sebagai iuran ke bank. Nah kalau pasien sudah masuk rumah sakit, tidak munkin harus menunggu 7 hari.
Caranya, minta surat rekomendasi dari dinas sosial dan lampirkan dalam berkas formulir di BPJS. Katakan pasien sudah masuk. Maka kita akan dianggap sebagai peserta administrasi darurat. Saya jamin, sehari kartu Jaminan Sosialnya keluar. Tapi bukan yang asli, masih kartu sementara hitam putih. Tapi jangan khwatir. Kartunya tetap sakti, bisa digunakan kok. Saat itu kita hanya perlu membayar iuran Rp.25.500 sebagai aktivasi kartu nomor registrasi.
Saya dapatkan tips ini dari kepada dinas kesehatan. Kalau memang darurat di rumah sakit dan belum punya kartu sehat. Okney...!! Semoga bermanfaat yaa...
Posting Komentar untuk "Bahaya! Kartu Sehat ternyata Memiskinkan Rakyat Gorontalo"
Teman-teman. Silakan berkomentar dengan kata-kata terbaik. Jagalah sopan santun saat berkomentar. Perlu dicatat bahwa blog ini diniatkan untuk berbagi info terbaik dan bermanfaat. Mohon dimaklumi notifikasi ini